KEBEBASAN MANUSIA
Kebebasan merupakan elemen penting dalam
kehidupan manusia. Oleh kita, terkadang kebebasan dimaknai sebagai
perilaku seenaknya. Lahirlah semangat kebebasan nilai dan individualisme
dalam diri kita. Padahal, kebebasan melahirkan tanggungjawab yang
mengandaikan adanya hak dan kewajiban manusia itu sendiri. Selama ini
Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi grand issue dan ideologi global yang
dituntut, mengapa kita bersama tidak mempertanyakan kewajiban manusia.
Pertanyaan itu diajukan, karena persoalan kewajiban manusia adalah
problem filosofis yang harus dijawab dan disadari.
Manusia dalam pandangan tertentu
didefinisikan berdasarkan keterhubungannya dengan Tuhan. Dan dari
kerangka pemikiran ini pula, manusia dipahami segi kewajiban dan haknya
(S H Nasr, 2003). Manusia pada dasarnya dapat dipandang sebagai makhluk
Tuhan, dan dilain pihak manusia merupakan hasil dari alamnya. Maksudnya,
manusia sebagai individu yang kongkrit merupakan produk dari masyarakat
beserta budaya yang ada di dalamnya. Memandang dunia secara utuh
merupakan salah satu tugas manusia. Karena sebagaimana kaum muslimin
ketahui bahwa manusia memiliki tanggung jawab sebagai khalifah di muka
bumi (khalifah fil ardli).
Sebagai khalifah, manusia berkewajiban
memakmurkan bumi dengan cara memanfaatkan seluruh sumber daya alam
bersama yang lainnya dalam prinsip kedamaian dan keadilan. Selain itu,
manusia harus secara aktif mengaktualkan diri dalam rangka mengukuhkan
eksistensi dirinya dan orang lain dengan cara bersilaturrahmi.
Silaturrahmi inilah yang akan melahirkan kehidupan damai sebagaimana
diajarkan Islam.
Pada segi lain, manusia dengan bebas
mempunyai dan menetapkan suatu tujuan. Yang menjadi soal adalah
bagaimana manusia menghayati eksistensinya dalam kebebasan dan bagaimana
mengatasi paradoks yang dihayati manusia, agar ia mampu mencapai
kebebasan eksistensi sebagai pribadi. Karena bagaimanapun kita diberikan
kekuatan oleh Allah SWT untuk berkehendak dan berusaha (ikhtiar), namun
di sisi lain, kita memiliki keterbatasan yang karenanya kita harus
bertawakal.
Menurut Islam, manusia diberikan
kebebasan menentukan pilihan hidup untuk kembali kepada eksistensi yang
alamiah (pra-manusiawi), atau mengembangkan diri hingga mencapai
eksistensi dirinya yang lebih manusiawi. Pilihan pertama berarti
memperturutkan hawa nafsunya, sementara pilihan kedua berarti mengikuti
hati nurani. Bagi agamawan, agama diturunkan untuk membimbing manusia
agar sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk primordial yang sakral.
Manusia dalam mengembangkan potensi nalar, nurani dan keimanannya
menjadikan dirinya menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Karena itu,
apabila sebagai manusia kita hanya memperturutkan nafsu ekonomi semata,
lantas apa bedanya manusia dengan binatang.
Apabila berbicara asal muasalnya, manusia
tentu lebih rendah derajatnya dari malaikat dan setan. Akan tetapi
karena akalnyalah yang menyebabkan manusia memiliki kreatifitas sehingga
berkembang sebagaimana perkembangan peradaban dewasa ini. Kembali
kepada eksistensi pra-manusia (binatang), akan menyebabkan manusia
mengalami kemunduran mental-psikologis, sementara sebaliknya, apabila
pilihan untuk menyempurnakan dan mengembangkan eksistensi yang kita
pilih, berarti kita menyempurnakan kemanusiaan. Pilihan pertama dengan
jelas akan membawa manusia kepada alienasi. Sementara pilihan kedua
jelas akan membawa manusia kepada kebebasan dan keutuhan eksistensinya.
Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dunia.
Mengutif gagasan tentang kebebasan dari
Erich Fromm, ada lima kebutuhan yang harus mampu dipenuhi manusia dalam
melahirkan kebebasan “barunya”, yaitu: pertama, keterbukaan (hubungan);
ada kenyataan bahwa manusia hidup sendiri, kenyataan itu menyebabkan
manusia merasa tidak mampu hidup sendiri. Sebagai akibatnya manusia
dituntut untuk mencari ikatan-ikatan baru dengan orang lain, harus
merasakan perasaan hubungan dengan orang lain.
Kedua, transendensi; erat hubungannya
dengan hubungan manusia sesungguhnya harus melampaui peran pasif sebagai
ciptaan, mengatasi sifat kebetulan dan pasifitas eksistensinya, dengan
cara menjadi “pencipta”.
Ketiga, keberakaran; dimana manusia harus
menemukan kembali akar dirinya sebagai manusia dan ikatan alamiah yang
mendasar adalah ikatan anak terhadap ibunya.
Keempat, perasaan identitas; dari sinilah
manusia sesungguhnya memerlukan identitas keluarga, budaya, ras sebagai
rasa individualitasnya.
Kelima, kerangka orientasi; manusia
adalah makhluk berpikir. Pikiran manusialah yang menyebabkan manusia
mampu mengembangkan suatu gambaran realitas yang objektif tentang dunia.
Dengan itulah manusia mengembangkan dunianya menjadi nyata.
Kebebasan lahir dalam konteks kesadaran
untuk memperoleh kebebasan diri (individu) dan menghargai kebebasan yang
lain. Dalam hal ini kita bersama tentu memerlukan satu konsensus dalam
bentuk aturan bersama yang ditaati dan mengikat semua orang. Dengan
demikian kebebasan melahirkan apa yang disebut tanggung jawab. Tanggung
jawab inilah yang akan melahirkan hak dan kewajiban manusia. Dalam
Islam, hubungan kewajiban dan hak manusia merupakan masalah prinsip dan
penerimaan akan prinsip ini mewarnai alam budaya dan intelektual Islam
(S H Nasr, 2003).